Jakarta Utara Pos – Lembaga riset ekonomi Center of Economics and Law Studies (Celios) mengungkapkan bahwa keanggotaan Indonesia dalam BRICS membawa berbagai keuntungan, terutama dalam hal perluasan pasar. Direktur Ekonomi Celios, Nailul Huda, menjelaskan bahwa ekspor Indonesia selama ini sangat bergantung pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Dengan bergabungnya Indonesia dalam BRICS, peluang untuk membuka pasar baru semakin besar, sekaligus memungkinkan negara ini untuk mengurangi ketergantungan pada pasar-pasar tersebut.
Menurut Nailul, bergabung dengan BRICS memberikan Indonesia kesempatan untuk melepaskan diri dari ketergantungan pada pasar tradisional yang selama ini menjadi tujuan utama ekspor Indonesia. Salah satu tantangan besar yang dihadapi Indonesia adalah adanya perselisihan dagang dengan Eropa, khususnya terkait kebijakan ekspor yang sering berujung pada ketegangan dalam perdagangan global. Nailul menyebutkan bahwa Eropa saat ini bahkan telah mulai membatasi perdagangan Indonesia melalui kebijakan seperti European Deforestation Regulation (EUDR) yang berdampak negatif pada ekspor komoditas kelapa sawit.
Di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto menunjukkan dukungannya terhadap industri kelapa sawit Indonesia. Ia mempertimbangkan untuk mencari pasar alternatif di luar Eropa sebagai respons terhadap hambatan perdagangan tersebut. Keberpihakan ini menjadi pertimbangan penting dalam membuka peluang pasar baru yang lebih luas di negara-negara yang lebih bersahabat dengan kebijakan ekspor Indonesia.
Nailul juga menambahkan bahwa meskipun Indonesia dikenal dengan gerakan diplomasi non-blok, yang tidak terafiliasi dengan blok mana pun seperti BRICS atau OECD, keikutsertaan Indonesia dalam koalisi politik dan ekonomi ini dapat memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi negara ke depan. Keputusan untuk bergabung dengan BRICS bukan hanya soal politik, tetapi juga merupakan langkah strategis dalam memperkuat posisi Indonesia di peta ekonomi global.
Data menunjukkan bahwa ekonomi negara-negara BRICS telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Pada tahun 1990, proporsi ekonomi negara BRICS hanya mencapai 15,66 persen, tetapi pada tahun 2022, angka tersebut melonjak menjadi 32 persen. Hal ini menunjukkan bahwa BRICS, yang awalnya terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, kini semakin diperluas dengan masuknya lebih banyak negara baru. Bahkan pada Oktober 2024, 13 negara tambahan ditetapkan sebagai negara mitra BRICS, menunjukkan bahwa koalisi ini semakin besar dan kuat.
Negara-negara Timur Tengah juga mulai bergabung dalam koalisi BRICS, yang sejalan dengan upaya pemerintah Indonesia untuk memasuki pasar Timur Tengah. Nailul mengungkapkan bahwa keuntungan bergabung dengan BRICS sangat besar, terutama dalam hal akses ke pasar-pasar baru yang berpotensi menguntungkan bagi Indonesia.
Namun demikian, Nailul mengingatkan bahwa bergabung dengan BRICS juga membawa tantangan, salah satunya adalah risiko bentrokan kepentingan dengan Amerika Serikat. Sebagai contoh, fasilitas perdagangan dengan AS bisa saja dicabut atau dikurangi sebagai akibat dari ketegangan yang muncul antara negara-negara anggota BRICS dan Amerika Serikat. Nailul bahkan memperkirakan adanya potensi perang dagang antara Amerika Serikat dan China jika Donald Trump kembali terpilih sebagai Presiden AS.
Meskipun ada potensi dampak negatif terhadap ekonomi global, Nailul menyatakan bahwa keputusan untuk bergabung dengan BRICS bisa dibilang lebih rasional dalam konteks jangka panjang, meskipun tetap ada risiko yang perlu diperhitungkan. Indonesia, dengan langkah ini, diharapkan dapat memperkuat posisinya dalam perekonomian global yang semakin kompetitif, meskipun harus menghadapi tantangan dari negara-negara OECD dan blok Barat.
More Stories
Menaker Yassierli Fokus Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Indonesia Melalui Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi
Lomba Menulis Khotbah Jumat Sambut Hari Persaudaraan Manusia 2025
Antisipasi Penyebaran PMK di Sumatera Barat, 54 Ribu Dosis Vaksin Ternak Disiapkan