Jakarta Utara Pos – Kepala Pusat Riset Pendidikan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Trina Fizzanty, menyoroti wacana peliburan kegiatan belajar mengajar selama Ramadan. Menurutnya, tidak semua keluarga memiliki kemampuan yang cukup untuk memberikan pendidikan secara penuh kepada anak di rumah apabila kegiatan sekolah diliburkan selama bulan suci tersebut.
Pendapat ini disampaikan oleh Trina sebagai respons terhadap usulan yang belakangan ramai dibahas di masyarakat. Ia menyatakan bahwa belum ada program berbasis masyarakat yang mampu menggantikan fungsi sekolah dalam memberikan pembelajaran terkait keagamaan, sosial, atau aspek lainnya.
Dalam wawancaranya dengan ANTARA di Jakarta, Trina menjelaskan bahwa proses pendidikan anak di rumah menghadirkan berbagai tantangan bagi orang tua. Pengalaman selama pandemi COVID-19, di mana pembelajaran jarak jauh diterapkan, menjadi salah satu contoh konkret. Banyak orang tua kesulitan dalam membimbing anak-anak mereka untuk tetap produktif belajar dari rumah.
Selain itu, Trina juga menganggap bahwa melaksanakan pembelajaran yang produktif selama Ramadan sebenarnya bukanlah sebuah masalah besar. Meski demikian, ia mengusulkan agar porsi pembelajaran spiritual dapat ditingkatkan selama bulan Ramadan. Dengan demikian, kebutuhan pendidikan spiritual anak dapat terpenuhi tanpa mengabaikan pendidikan kognitif.
Ia menyarankan agar kegiatan belajar tetap dijalankan meskipun dengan pengurangan durasi. Dengan begitu, anak-anak tetap memiliki waktu untuk menguatkan kemampuan spiritual mereka di tengah bulan yang penuh keberkahan ini.
Di sisi lain, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti, menyatakan bahwa keputusan terkait libur sekolah selama Ramadan masih dalam tahap pembahasan. Diskusi ini melibatkan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Kementerian Agama (Kemenag), serta Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
Menurut Abdul Mu’ti, terdapat berbagai usulan yang muncul dari masyarakat. Beberapa di antaranya adalah usulan untuk meliburkan sekolah secara penuh selama Ramadan, libur hanya di tanggal-tanggal tertentu, serta tetap menjalankan kegiatan belajar sebagaimana biasanya.
Ia menambahkan bahwa berbagai usulan tersebut mencerminkan aspirasi masyarakat yang beragam. Dalam konteks demokrasi, partisipasi publik seperti ini dianggap sebagai hal yang positif karena menunjukkan keterlibatan aktif masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Melalui pendekatan yang inklusif dan partisipatif, diharapkan kebijakan terkait libur sekolah selama Ramadan dapat menghasilkan keputusan yang seimbang. Keputusan ini tidak hanya mempertimbangkan kebutuhan pendidikan anak, tetapi juga menyesuaikan dengan nilai-nilai spiritual dan sosial yang dijunjung selama bulan Ramadan.
Pendekatan seperti ini penting agar pendidikan selama Ramadan tetap relevan dan produktif, baik di sekolah maupun di rumah. Dengan kebijakan yang bijaksana, diharapkan anak-anak dapat meraih manfaat maksimal dari momen Ramadan tanpa harus mengorbankan pendidikan formal mereka.
More Stories
Menaker Yassierli Fokus Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Indonesia Melalui Kolaborasi dengan Perguruan Tinggi
Lomba Menulis Khotbah Jumat Sambut Hari Persaudaraan Manusia 2025
Antisipasi Penyebaran PMK di Sumatera Barat, 54 Ribu Dosis Vaksin Ternak Disiapkan